Laksamana Keumalahayati:
Pahlawan Perempuan dari Aceh yang Mengguncang Lautan
Pendahuluan
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia dipenuhi dengan kisah kepahlawanan yang menginspirasi. Salah satunya datang dari Aceh, tanah rencong yang dikenal gigih melawan penjajah. Dari sana lahirlah sosok perempuan tangguh bernama Laksamana Keumalahayati, atau lebih dikenal dengan Malahayati. Ia bukan sekadar pejuang, tetapi juga laksamana perempuan pertama di dunia yang memimpin pasukan laut menghadapi bangsa kolonial.
Makam Malahayati di bukit Krueng Raya, Aceh Besar
1. Latar Belakang Kehidupan
Keumalahayati lahir di Aceh pada paruh kedua abad ke-16, dari keluarga bangsawan. Ayahnya adalah seorang pejabat tinggi di Kesultanan Aceh, sementara kakeknya, Laksamana Mahmud Syah, juga dikenal sebagai panglima laut. Dari lingkungan inilah Malahayati kecil tumbuh dengan jiwa kepemimpinan dan keberanian.
Pendidikan militernya ditempuh di Ma’had Baitul Maqdis, akademi militer Aceh. Di tempat inilah ia ditempa ilmu navigasi, strategi perang laut, dan kepemimpinan. Pengalaman ini menjadi bekal berharga bagi perjuangannya kelak.
2. Peran dalam Kesultanan Aceh
Malahayati mengabdi pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1589–1604). Saat itu, Aceh sedang berada di puncak kejayaan sekaligus menghadapi ancaman bangsa Eropa yang ingin menguasai perdagangan rempah di Selat Malaka.
Di tengah situasi itu, Malahayati dipercaya menjadi panglima armada laut Aceh. Keputusannya untuk membentuk pasukan khusus perempuan, yang kelak dikenal sebagai Inong Balee, menjadi langkah bersejarah. Ia tidak hanya menjaga Aceh, tetapi juga mempertahankan kedaulatan nusantara di laut internasional.
3. Armada Inong Balee
Setelah suaminya gugur dalam pertempuran, Malahayati mengumpulkan para janda syuhada perang. Dari situlah lahir Armada Inong Balee, pasukan elit perempuan yang beranggotakan lebih dari 2.000 orang. Mereka bermarkas di Teluk Lamreh, Aceh Besar, dan menjadi penjaga Selat Malaka.
Pasukan ini menunjukkan bahwa perempuan Aceh bukan hanya penguat di belakang layar, tetapi juga garda terdepan di medan perang. Keberanian Inong Balee menjadi simbol kekuatan moral sekaligus militer Aceh.
4. Perjuangan di Laut
Kepemimpinan Malahayati diuji ketika armada Portugis, Spanyol, dan Belanda mencoba menguasai perairan Aceh. Salah satu peristiwa paling terkenal adalah pertarungannya melawan Cornelis de Houtman, pelaut Belanda. Dalam duel yang menegangkan, Malahayati berhasil menewaskan de Houtman dengan tombaknya.
Kemenangan ini membuat bangsa Eropa semakin segan terhadap kekuatan Aceh. Mereka menyadari bahwa menghadapi Malahayati bukanlah perkara mudah, karena di baliknya berdiri sebuah armada yang disiplin dan berani mati.
5. Warisan Sejarah & Penghormatan
Malahayati wafat sekitar tahun 1606 dan dimakamkan di Desa Lamreh, Aceh Besar. Makamnya kini menjadi situs sejarah yang banyak dikunjungi.
Penghormatan terhadap dirinya terus diberikan, di antaranya:
-
Pada 9 November 2017, Malahayati resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo.
-
Namanya diabadikan sebagai Universitas Malahayati di Lampung.
-
KRI Malahayati (362), kapal perang TNI AL.
-
Nama jalan di berbagai kota besar di Indonesia.
Semua ini menjadi pengingat bahwa perjuangannya tidak sekadar bagian dari sejarah Aceh, tetapi juga warisan bangsa Indonesia.
6. Nilai dan Inspirasi dari Malahayati
Kisah Malahayati mengajarkan banyak nilai penting:
-
Kepemimpinan visioner: Ia mampu memimpin pasukan besar di tengah dominasi laki-laki.
-
Keberanian tanpa batas: Turun langsung ke medan perang, bahkan menghadapi pemimpin armada musuh.
-
Keteguhan hati: Mengubah duka pribadi menjadi kekuatan kolektif melalui Armada Inong Balee.
-
Inspirasi generasi muda: Menanamkan semangat cinta tanah air, pantang menyerah, dan berani menghadapi tantangan.
Penutup
Laksamana Keumalahayati adalah simbol perempuan pejuang yang mengukir sejarah besar di lautan. Dari Aceh, ia menegakkan martabat bangsa Nusantara di hadapan bangsa-bangsa kolonial. Perjuangan dan keberanian Malahayati bukan hanya milik Aceh, tetapi milik seluruh Indonesia.
Kini, ketika kita mengenangnya sebagai Pahlawan Nasional, Malahayati tetap hidup sebagai inspirasi—bahwa cinta tanah air, keberanian, dan kepemimpinan sejati akan selalu relevan lintas zaman.
Referensi
-
Hasjmy, A. (1977). 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang.
-
Alfian. (1999). Peranan dan Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
-
Djajadiningrat, Hoesein. (1982). Kesultanan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Jakarta: Balai Pustaka.
-
Kemendikbud RI. (2017). Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
-
Situs Resmi Museum Aceh & Situs Cagar Budaya Lamreh, Aceh Besar.
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar yang anda sampaikan, akan kami pelajari dan konfirmasi selanjutnya.